Drama Perusakan Lingkungan Hidup

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Salah satu pokok soal lemahnya pengelolaan sumberdaya alam adalah bahwa sumberdaya alam selama ini dikelola oleh lembaga-lembaga yang lebih bertindak sebagai suatu perusahaan besar (big firm) daripada sebagai lembaga public (public body). Indikator yang disodorkan antara lain adalah lemahnya representasi dalam menentukan arah kebijakan yang dituju, ketertutupan, serta proses perumusan kebijakan seperti membuka dialog tanpa dapat menerima bagian penting yang diusulkan masyarakat. Akibatnya kebijakan yang ditelorkan oleh ‘perusahaan besar’ itu akhirnya menjadi asing ditengah-tengah perubahan masyarakat yang sangat cepat.

Kegalauan masyarakat tentang lemahnya wujud lembaga publik telah pula dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan ketiga (special interest group) yang justru dalam banyak hal menjadi penentu, kemana arah perubahan dicanangkan. Hasil berbagai pembahasan mengenai strategi pembaharuan (plan change strategy) dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dipastikan tidak ditindaklanjuti, jika tidak selaras dengan kelompok kepentingan ketiga ini.

Representasi kepentingan publik (public interest) terhadap lingkungan hidup telah diganti dengan representasi kepentingan individu (private interest). Kebijakan lingkungan hidup yang begitu luas dinafikan begitu saja dan diakhiri dengan perbincangan soal bentuk perusahaan, bentuk ijin, serta pembagian keuntungannya, juga bagi pemerintah pusat dan daerah.

Penegakan hukum yang terbukti sulit dijalankan juga harus menjadi catatan tersendiri. Lemahnya penegakan hukum antara lain menyebabkan lemahnya orientasi jangka panjang, baik bagi individu maupun publik. Bagaimana mungkin seseorang atau perusahaan menghentikan pencurian kayu agar hutan tidak rusak dan lingkungan aman, apabila setelah ia melakukannya ternyata tidak ada sanksi apapun atas perbuatannya. Bahkan meskipun namanya telah menjadi perbincangan publik. Maka yang dilakukan kemudian pastilah menambah skala pencuriannya itu, sebagai kebanggaan atas “kemenangan” yang ia peroleh.

Secara umum kondisi hutan di Indonesia memang sudah rusak berat. Pernyataan pejabat kehutanan di media massa pernah menyebutkan bahwa rata-rata hutan rusak per tahun sudah lebih dari 2,5 juta Ha. Saat inipun pencurian kayu bukan main hebatnya. Tidak kurang dari 30 juta m3 kayu yang diperjualbelikan berasal dari kayu curian. Bahkan kayu yang berasal dari hutan produksi yang dikelola oleh HPH, setiap tahun dapat diprediksi adanya produksi sekitar 12,8 juta m3 kayu bulat di luar produksi resmi. Modus lainnya adalah adanya berbagai bentuk ijin resmi dalam kawasan hutan produksi (yang tidak berhutan), dan ijin ini dipergunakan untuk menampun kayu bulat yang ditebang dari lokasi lain, baik dari hutan produksi, hutan lindung, maupun berbagai Taman Nasional. Tidak jarang pelaksanaan pencurian kayu ini juga dilakukan dengan mendatangkan tenaga kerja dari propinsi lain.

Berbagai nama para pelaku pencuri kayu dan pelaku korupsi dalam sektor ini telah banyak disebut oleh berbagai pihak, bahkan konon telah ada di tangan aparat. Tetapi apa yang telah terbuka dan diketahui masyarakat, sampai saat inipun nyatanya belum menjadi pemicu terjadinya perbaikan yang diharapkan.

Kerusakan fisik lingkungan hidup sebenarnya tidak mengkhawatirkan. Lingkungan hidup yang telah rusak “hanya” membutuhkan perlindungan, dan ia akan pulih kembali. Yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah telah lemahnya, dan di beberapa tempat telah rusaknya, social capital, tatanan kelembagaan masyarakat, maupun menurunnya kepercayaan masyarakat terhada lembaga-lembaga publik yang ada. Sehingga komitmen untuk melestarikan lingkungan hidup sangat sulit untuk dicapai.

Terus melajunya kerusakan lingkungan hidup, juga sebagai pertanda bahwa pemerintah pusat lemah peranannya. Penggunaan instrumen hukum dan pasal-pasal dari undang-undang untuk mengendalikan perusakan lingkungan hidup dengan instrumen kebijakan dari pusat, terasa sudah tidak efektif. Pendekatan seperti itu oleh beberapa orang di daerah bahkan dianggap tidak selaras dengan aspirasi otonomi daerah. Maka yang diperlukan pastilah bukan sekedar menggantikan kebijakan lama dengan kebijakan baru dengan pendekatan serupa. Melainkan dibutuhkan inovasi kelembagaan dengan proses yang dapat menunjang komitmen pemerintah dan masyarakat luas.

Kepedihan adanya korban bencana longsor maupun terjadinya banjir besar di beberapa daerah, belum menjadi “peringatan” yang mampu mewujukan kesadaran pentingnya kelembagaan yang dapat menjaga keberadaan hutan alam. Tahun inipun nampaknya juga belum disertai adanya tanda-tanda penguatan kelembagaan tersebut.

Haruskah ada peringatan yang lebih besar untuk menyadarkan pentingnya melestarikan lingkungan hidup?

Refleksi Ekologi Indonesia

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Berbagai kajian dan penelitian membuktikan bahwa masa depan hutan Indonesia sangat bergantung pada perubahan-perubahan sikap mental, arah kebijakan dan strategi yang mendasar, baik di tingkat pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Perubahan-perubahan strategis telah dimulai sejak era reformasi antara lain tentang pentingnya kolaborasi pengelolaan kawasan-kawasan konservasi; arah pengelolaan yang lebih mempertimbangkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, yang tentu dengan penyesuaian dan mempertimbangkan dinamika dan konteks masing-masing daerah.

Perkembangan kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung mengakui bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat (mampu) dilakukan oleh pemerintah, maka muncul kebijakan kolaborasi tahun 2004, adalah suatu perkembangan dan dapat dijadikan fondasi penting untuk dilanjutkan. Perkembangan inisiatif kabupaten yang tertarik mendukung upaya konservasi harus direspon oleh pusat dengan kebijakan yang mendorong dan mengawal proses tersebut di tingkat nasional.

Beberapa kabupaten yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan lindung, perlu mendapatkan insentif. Bentuk insentif ini dapat beragam, misalnya alokasi dana untuk pengembangan masyarakat di daerah penyangga-yang berbatasan dengan kawasan konservasi, dan disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus. Kabupaten tersebut dapat diprioritaskan diikutkan dalam program Reduce Emission of Degradation and Deforestation (REDD); atau melalui mekanisme Debt for Nature Swapt., dikaitkan dengan perdagangan karbon, dan seterusnya. Bagi kabupaten yang mengalami kerusakan hutan yang parah, namun menunjukkan niat baik dan serius untuk melakukan rehabilitasi dapat didukung dengan dana Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dari Departemen Kehutanan.

Kawasan-kawasan konservasi khusus yang lokasinya di daerah dataran tinggi, harus dijadikan basis pembangunan yang berkelanjutan, melalui skema pengelolaan berbasis ekosistem daerah aliran sungai. Kerjasama dan keterpaduan di tingkat internal Departemen Kehutanan menjadi suatu keharusan, sebagai dasar untuk dikembangknnya kerjasama, keterpaduan, dan sinergi lintas departemen di tingkat pusat dan lintas dinas-dinas di provinsi dan kabupaten. Forum-forum Daerah Aliran Sungai yang telah dibentuk di sebagian provinsi perlu didorong untuk bekerja efektif memfasilitasi berbagai inisiatif lintas esktor ini. Dengan Ketua Forum seorang Emil Salim, Forum DAS di tingkat nasional ini diharapkan semakin berperanan aktif . Gerakan penanaman 100 Juta pohon misalnya, perlu dilanjutkan dengan berbagai pihak dengan meningkatkan kesadaran multisektor di seluruh Indonesia. Gerakan ini perlu dikawal untuk tidak terjebak pada jargon politik 5 tahunan, namun harus menjadi program nasional. Khususnya terkait dengan kawasan-kawasan eks HPH yang telah mengalami kerusakan dan saat ini menjadi kawasan yang terbuka bagi siapa saja. Situasi ini disebut sebagai open access: sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun tetapi juga milik setiap orang. Siapa kuat dia yang berkuasa. Maka kebijakan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik untuk produksi maupun konservasi harus terus dilanjutkan di masa mendatang.

Sedangkan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi, harus dilakukan di tingkat lapangan, dengan terus mengembangkan kerjasama multipihak, termasuk dengan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Sebagai aset lintas generasi, pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman-taman nasional seharusnya juga dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan dinamika politik, aspirasi daerah, keragaman hayati, teknologi, perkembangan pasar, jasa lingkungan, dan diperkaya oleh praktik-praktik kearifan lokal, dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut. Pengelolaan kawasan-kawasan konservsi yang tidak memberikan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya bagi masyakat sekitarnya akan mendapatkan berbagai tantangan dan tekanan. Potensi-potensi yang nyata dapat dikembangkan harus segera dikembangkan, misalnya di bidang jasa lingkungan-mikro hidro, ekowisata, tumbuhan obat. Untuk jangka panjang, perlu dikembangkan rekayasa genetik darin kekayaan flora danfauna Indonesia di kawasan konservasi. Kerjasama dengan lembaga-lembaga konservasi dan penelitian farmakologi menjadi relevan untuk terus didorong sampai diperoleh hak paten.

Refleksi Ekologi

Perubahan paradigmatik dan kebijakan konservasi yang telah dicanangkan sejak era reformasi 1998 perlu terus dikawal, dievaluasi, dan diperbaiki dengan dukungan kebijakan yang konsisten. Minimal terdapat 5 hal yang menjadi catatan kritis yang perlu kita renungkan:

Pertama, pembenahan struktural dan fungsional di tingkat internal baik di tingkat pusat maupun di daerah perlu terus dilakukan dalam kerangka peningkatan kapasitas, kapabilitas, integritas, dan reformasi birokrasi organisasi konservasi di Departemen Kehutanan.

Kedua, seiring dengan pembenahan internal, maka kerjsama, kolaborasi, maupun kemitraan harus terus dikembangkan. Baik di tingkat internal Departemen Kehutanan maupun dengan berbagai pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. Kelemahan selama ini adalah kurangnya skema kerjasama terutama dengan pihak swasta, untuk bersama-sama dikembangkan berbagai inisiatif bersama, seperti gerakan rehabilitasi dan upaya-upaya konservasi dan pengembangan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Kerjasama melalui skema bilateral, maupun dengan LSM internasional harus dilakukan melalui skema yang jelas dan dengan berpedoman pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit.

Ketiga, proses pembelajaran multipihak harus didisain dan dilaksanakan agar dapat diperoleh pembelajaran dari upaya yang berhasil maupun yang gagal. Pada umumnya, semua pihak termasuk pemerintah kurang mengawal proses pembelajaran ini, sehingga kita tidak dapat mengetahui secara valid khususnya kegagalan dari suatu kerjasama. Proses pemantau dan evaluasi kerjasama multipihak seharusnya dilakukan melalui prinsip-prinsip keterbukaan dan demokrasi. Spirit untuk melakukan proses pembelajaran ini menjadi sangat penting untuk terus dilakukan di masa mendatang. Ke depan, hutan produksi yang mengalami kerusakan seluas 20 juta Ha harus dapat direhabilitasi, melalui pengelolaan multipihak, sehingga proses pembelajarannya dapat dilakukan secara bersama.

Keempat, keterbukaan, kerjasama, dan komunikasi lintas sektor atau departemen adalah sangat mendesak. Konflik kepentingan lintas sektor dipicu oleh perbedaan di tingkat undang-undang dan peraturan turunannya, harus dapat difasilitasi di tingkat nasional, misalnya oleh Bappenas melalui skema penataan ruang di tingkat pulau atau provinsi. Contoh klasik dan nyata adalah antara pengelolaan potensi pertambangan di kawasan hutan; pengembangan wilayah kabupaten dan provinsi yang memerlukan konversi kawasan hutan untuk jaringan jalan, kota-kota baru, dan sebagainya.

Kelima, alat kebijakan nasional, misalnya tata ruang nasional, pulau, provinsi, dan kabupaten harus disusun melalui dukungan jastifikasi ilmiah/kajian akademik, dan konsultasi multipihak yang cukup. Kebijakan tata ruang harus memiliki kekuatan hukum agar dapat menjadi salah satu alat penyaring dari berbagai kepentingan daerah, atau kepenitngan nasional di daerah, sehingga dapat dicegah pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi merusak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Kerusakan Ekologi; Pesan Bagi Calon Wakil Rakyat

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)



Tata pemerintahan secara nasional sejauh ini telah meruntuhkan, di satu sisi daya dukung lingkungan, dan di sisi lain tatanan kelembagaan masyarakat. Kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam telah melahirkan menyimpan potensi konflik. Buruknya tata pemerintahan dan konflik inilah yang ikut menyumbang persoalan keamanan, sehingga perbaikannya menentukan apakah masalah keamanan dapat diatasi, dan bukan sebaliknya.

Dalam kampanyenya, Calon anggota legislatif nampak masih menyoroti hal-hal normatif dan jatuh pada tiga topik dominan, yaitu masalah keamanan, penegakan hukum dan ekonomi. Orasi dan penjelasannya cenderung membawa logika linear, bahwa ketika keamanan dapat diatasi, penegakan hukum diwujudkan, maka investasi dapat ditingkatkan dan ekonomi berkembang untuk dapat menampung tenaga kerja dan lebih jauh mengatasi kemiskinan. Dominasi logika seperti itu nampak tidak sejalan jika dikaitkan persoalan riil pengelolaan sumber daya hutan yang meliputi hampir 70% daratan di Indonesia.

Sejauh ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mampu meletakkan dasar-dasar bagaimana akar masalah kerusakan hutan dan lingkungan dapat ditangani. Kandungan permasalahan ini bukan terfokus dalam tataran normatif, melainkan di tingkat operasional. Bukan hanya terfokus pada banyaknya kejahatan, melainkan sudah terpatri dalam tubuh birokrasi maupun hubungan-hubungan transaksi relasional antar birokrasi, dunia usaha dan masyarakat. Dalam penyelesaian konflik hak dan ijin atas pemanfaatan sumberdaya hutan misalnya, DPR bahkan menjadi bagian dari permasalahan. Ruang kelola bagi sebagian besar masyarakat setempat tetap sangat terbatas, tetap miskin, dan hampir tidak ada pilihan, sehingga tetap harus merusak sumberdaya hutan.

Jika diungkap kembali kata-kata seorang Kepala Taman Nasional yang pernah diucapkan: ”Saya dapat menyelamatkan hutan ini karena saya tidak mematuhi suatu Surat Keputusan Menteri”. Maka segera diketahui bahwa peraturan yang selama ini berjalan memang menjadikan pegangan legalitas, dan salah apabila dilanggar, tetapi perlu ditekankan bahwa sebagian besar peraturan telah kehilangan daya kemanfaatan maupun keadilannya dalam menyelesaikan masalah.

Pertanyaannya, bagaimana parlemen nantinya mampu menjalankan kebijakan yang bukan sekedar ”mengamankan” investasi untuk tetap mengeksploitasi sumberdaya alam, tetapi juga mampu meletakkan kepastian hak dan menjaga berfungsinya sumberdaya alam bagi publik? Bagaimana masalah-masalah fundamental yang paling dekat dengan masyarakat, seperti masalah agraria serta terhentinya adaptasi kerja birokrasi terhadap perubahan di lapangan yang sangat cepat, dapat diatasi?

Penegakan hukum terhadap kebijakan-kebijakan yang keliru dewasa ini justru menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Langkah kekerasan untuk menyelesaikan konflik yang dianggap logis untuk mengamankan investasi usaha dan juga konservasi hutan justru kontra produktif terhadap berbagai upaya inovatif di lapangan yang telah mencoba membenahi kebuntuan hubungan parlemen dengan masyarakat dewasa ini. Kepercayaan para proesional dan penggiat lingkungan yang juga menjadi bagian dari social kapital terus melemah, ketika parlemen dengan birokrasinya berjalan dengan logika kebenarannya sendiri.

Lebih jauh, upaya rehabilitasi hutan dan lingkungan sudah terlihat, hanya akan menghabiskan dana apabila masalah-masalah mendasar seperti hak atas sumberdaya hutan, lemahnya kelembagaan masyarakat, serta kekakuan dan kerja birokrasi tidak dibenahi.

Arus kepentingan ekonomi jangka pendek selama ini juga terbukti menyuburkan dominasi kepentingan politik dan tidak mereprentasikan masalah-masalah nyata di lapangan. Rasanya mustahil, kebijakan parlemen dapat dibangun dan mampu memecahkan masalah kerusakan ekologi hanya didasarkan kepentingan-kepentingan politik, tanpa dukungan banyak orang yang sungguh-sungguh mengetahui bidangnya.

Meskipun isu ekologi mungkin bukan isu politik yang membuat pemilih tertarik, tetapi, dalam kondisi rusaknya ekologi dan daya dukung lingkungan saat ini, ia akan menjadi beban dan menentukan kinerja bagi para Calon Wakil Rakyat.

Politik dan Spiritual Rimbawan

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Sebenarnya, permasalahan di dunia kehutanan terletak pada sebuah kata, yaitu politik. Rimbawan yang ribuan jumlahnya itu sebagian besar hanya ahli dalam hal teknis di bidangnya. Sedikit yang mau berkecimpung dalam dunia politik, padahal politik bisa dipakai untuk menyelamatkan hutan. Sekarang kita menyalahkan peraturan atau perundang-undangan yang telah di buat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ya kita hanya bisa mengeluh, gondok, dan lain sebagainya melihat kejahatan deforestasi yang dilegalkan.

Seharusnya, sebagai stakeholder kehutanan, kita mesti melek politik. Bayangkan, jika yang menjadi anggota DPR itu adalah adalah mafia-mafia dan buron-buron kehutanan, yang jadi menteri kehutanannya bekas cukong kayu illegal. Bayangkan jika rimbawan hanya asik bekerja dan terima gaji dari para penghancur hutan yang berkedok Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kuliah sampai sarjana bahkan doktor hanya untuk jadi antek-antek penjahat ekologi. Cukup menjijikan.

Jarang kita melihat birokrat kehutanan yang jujur dan serius menyelamatkan hutan Indonesia yang semakin menyusut ini. Mereka malah sering seminar, lokakarya, diskusi, dan konferensi dengan sponsor pabrik-pabrik kayu atau kertas, setelah itu pulang dan tidur di atas tempat tidur mahal dari kayu jati. Mereka selalu berteriak lebih langtang dari pendemonya, mengingkari fakta-fakta kerusakan hutan yang dibeberkan kader-kader konservasi sejati. Dengan percaya diri mereka mengatakan bahwa tindakannya dibenarkan Undang-Undang (UU) Luar biasa sebuah UU, untaian kalimat dalam UU sangat efektif untuk menghancurkan sebagian besar hutan kita. Ditambah mereka-mereka para penjajah hutan yang buta UU juga buta etika. Merekalah penjahat konservasi sejati.

Solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan di dunia kehutanan adalah: “Rimbawan harus melek politik.” Rimbawan tak perlu tabu lagi dengan yang namanya Partai, Paelemen, Undang-Undang (UU), dan lain sebagainya. Ingatkah kita nama-nama Menteri Kehutanan seperti Nur Mahmudi Ismail dan M.S. Kaban? Apakah mereka seorang rimbawan teknis? Yang hanya bisa kerja dilapangan, menjadi karyawan HPH, dan nurut apa kata cukong, serta bermanja-manja ketika hendak menerima gaji. Bukan. Sekali lagi bukan. Mereka adalah orang-orang politik pada dasarnya. Karena kesepakatan-kesepakatan politik mereka bisa menjadi Menteri Kehutanan.

Ketika rimbawan sudah melek politik, anda jangan kaget melihat hutan-hutan kita kembali seperti dulu. Walau bukan kita yang menikmati, namun yakinlah anak cucu kita akan mendoakan kita. Kita akan tersenyum di surga-Nya ‘insya Allah’ menyaksikan Indonesia kembali menjadi untaian Zambrud Khatulistiwa.

Ada satu lagi yang tak boleh terlewatkan, rimbawan harus mematuhi kode etik rimbawan. Khususnya pada poin pertama yang berbunyi: “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Karena, menyelamatkan dan melestarikan hutan merupakan bentuk ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, selain melek politik, rimbawan juga mesti melek spiritual.

Strategi Mereduksi Efek Global Warming

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)



“Potensi kerusakan yang begitu dahsyat akibat pemanasan global memerlukan strategi untuk mereduksi secara global pula.”

Strategi pertama adalah mengubah perilaku individu. Tindakan yang lebih baik adalah dengan mengubah perilaku individu, karena pemahaman efek dari pemanasan global yang ‘ditanam’ hari ini berdampak besar pada anak cucu kita di kemudian hari. Beberapa langkah tindakan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

Pertama, menghemat penggunaan air. Kadang kita tidak menyadari kalau air kran mengalir kira-kira 9 liter per menit. Pemakaian air yang terlalu banyak dan boros akan mempercepat habisnya ketersediaan air tanah. Jadi, jangan membiasakan diri membiarkan kran air mengalir tanpa digunakan.

Kedua, menghemat listrik. Apa hubungan hemat listrik dengan pemanasan global? Pemanasan global terjadi karena terlalu banyak gas rumah kaca yang lepas di atmosfer. Gas rumah kaca didominasi oleh karbon dioksida (CO2). Sebagian besar CO2 dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dengan demikian, hemat listrik, secara tidak langsung juga akan mengurangi kadar CO2 di atmosfer.

Ketiga, menanam pohon. Oleh karena CO2 dipergunakan oleh tanaman dipergunakan oleh tanaman untuk fotosintesis maka penanaman pohon dalam jumlah banyak juga dapat menjadi solusi. Bila setiap orang menanam satu pohon maka di Indonesia akan bertambah lebih dari dua ratus juta tanaman yang ikut mengkonsumsi CO2. Di Sulawesi Utara, dibuat Peraturan Daerah yang mewajibkan menanam pohon bagi pasangan yang akan menikah.

Keempat, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor sebagai penyumbang sumber CO2 terbesar di wilayah perkotaan juga perlu diantisipasi dengan mengubah perilaku hidup orang. Pencemaran udara 70% dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Menurut data Swiss Contact, Proyek Udara Bersih Jakarta, sumber pencemaran di Jakarta disumbang oleh kendaraan pribadi sekitar 90% dan sekitar 10% dari kendaraan umum, termasuk truk. Bila di lakukan pengurangan penggunaan kendaraan bermotor, maka kemacetan dan polusi udara dapat dikurangi.

Strategi kedua adalah berjuang secara kolektif. Upaya mengurangi efek pemanasan global dapat dilakukan secara bersama atau kolektif. Beberapa langkah perjuangan yang dapat dilakukan secara kolektif sebagai berikut:

Pertama, mencari energi alternatif. Penggunaan energi alternatif yang dapat diperbarui perlu dilakukan di Indonesia. Pembangkit listrik di Indonesia kebanyakan menggunakan bahan bakar fosil: minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Ketiganya mengeluarkan CO2. Jadi, semakin kita boros menggunakan listrik, semakin banyak CO2 yang dikeluarkan. Daripada terus-terusan boros listrik dan pemerintah harus membangun pembangkit listrik berbahan fosil baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, lebih baik melakukan hemat listrik. Dengan penghematan ini, anggaran pemerintah untuk subsidi listrik yang besar bisa dipakai untuk membangun pembangkit listrik dengan energi bersih, seperti sinar matahari, air, angin, biomassa, dan panas bumi.

Kedua, melestarikan hutan. Masyarakat dan pemerintah harus berupaya bersama-sama dalam menjaga hutan dari kebakaran. Negara-negara lain memandang kebakaran hutan yang kerap terjadi di Indonesia merupakan penyumbang CO2 terbesar di dunia. Bahkan, Indonesia dituding menjadi Negara ketiga penyumbang pemanasan global karena penebangan hutan dan pembakaran hutan yang cukup besar terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Ketiga, menanam pohon secara masal. Penanaman pohon secara masal juga perlu dilakukan, misalnya dengan membuat taman kota, hutan kota, dan kewajiban menanam bagi instansi, perumahan, atau lembaga lain.

Keempat, memperbaiki kualitas kendaraan dengan uji emisi. Uji emisi adalah sarana untuk memperoleh kepastian mengenai kinerja mesin kendaraan apakah dalam kondisi prima atau sebaliknya. Melakukan uji emisi dengan benar terhadap kendaraan bermotor juga harus dilakukan karena mesin prima mengeliminer pembuangan gas karbon sehingga dapat ikut menjaga lingkungan dan hemat bahan bakar. Perlu sanksi yang tegas terhadap pelaku uji yang meloloskan kendaraan yang mesinnya bermasalah. Uji emisi yang benar antara lain dapat berfungsi untuk tiga hal berikut: a) Mengetahui efektivitas proses pembakaran bahan bakar pada mesin dengan cara menganalisis kandungan karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC) yang terkandung di dalam gas buang. Tingginya kandungan HC yang diakibatkan oleh kerusakan kendaraan disebabkan oleh beberapa factor antara lain: seperti kebocoran pada system vakum, system pengapian yang tidak bekerja dengan baik, kerusakan pada engine control unit, kerusakan pada oksigen sensor, dan gangguan pada system pasokan udara. b) Mengetahui adanya kerusakan pada bagian-bagian mesin kendaraan. c) Membantu saat melakukan setting campuran udara dan bahan bakar yang tepat.

Kelima, membina kelompok pelajar, mahasiswa, dan masyarakat pecinta lingkungan. Upaya sadar lingkungan mulai digerakkan sedini mungkin pada anak-anak dan remaja. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk dan membina organisasi dan klub pecinta lingkungan.

Walaupun hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung dan cepat, setidaknya strategi serta upaya untuk mereduksi efek global warming haruslah didukung oleh segenap masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat juga yang akan merasakan manfatnya. Efek pemanasan global tidak dapat dicegah hanya melalui individu, melainkan butuh kerja sama semua pihak. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kita memulai upaya sadar lingkungan mulai saat ini demi generesai yang akan datang. Mari bertindak nyata untuk masa depan bersama.

Efek Global Warming

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbutan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum : 41)

Para ilmuan saat ini telah mendapatkan beberapa prakiraan mengenai efek pemanasan global (global warming). Efek tersebut antara lain pengaruh terhadap cuaca, pengaruh terhadap kenaikan permukaan laut, pengaruh terhadap pertanian, serta pengaruhnya terhadap kesehatan manusia.

Pengaruh terhadap cuaca. Apabila daerah di bagian kutub utara akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di bumi. Dengan kondisi seperti ini maka akan berakibat di antaranya: gunung-gunung es akan mencair, daratan akan mengecil, akan lebih sedikit es yang terapung di perairan sebelah utara, daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi, di daerah subtropics, bagian pegunungan yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta salju akan lebih cepat mencair, badai akan lebih sering terjadi, air tanah akan lebih sering menguap, beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya, angin akan bertiup lebih kencang dengan pola yang berbeda-beda, terjadinya badai topan akan menjadi lebih besar, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi, pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

Pengaruh terhadap kenaikan permukaan laut. Atmosfer menghangat, lapisan permukaan laut juga akan menghangat sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Peningkatan tinggi permukaan air laut berasal dari pencairan es dan sisanya berasal dari pemuaian air akibat peningkatan temperatur. Tinggi permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm selama abad ke-20. Apabila separuh es di Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan laut di dunia rata-rata setinggi 6-7 meter. Tinggi kenaikan rata-rata permukaan air laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

Pengaruh terhadap pertanian. Efek pemanasan yang mengakibatkan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia antara lain sebagai berikut: menurunkan produktivitas pertanian khususnya pada wilayah pantai akibat naiknya temperatur bumi, terjadinya iklim ekstrim yang meningkat sehingga sektor pertanian akan kehilangan produksi akibat bencana kering dan banjir yang silih berganti, kerawanan pangan akan meningkat di wilayah yang rawan bencana kering dan banjir.

Pengaruh terhadap kesehatan manusia. Adapun pengaruh pemanasan global terhadap kesehatan manusia antara lain sebagai berikut: meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernapasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, lebih banyak orang yang meninggal karena stress panas, mempengaruhi kesehatan tubuh manusia terhadap penyakit-penyakit tular vector seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Kasus DBD dipengaruhi oleh curah hujan dan jumlah hari hujan. Semakin tinggi dan banyak jumlah hari hujan maka semakin tinggi pula kasus DBD. Saat ini, 45% penduduk dunia tinggal di daerah yang rawan terhadap nyamuk pembawa parasit malaria. Persentase ini akan meningkat menjadi 60% jika temperatur meningkat.

Upaya pengurangan efek pemanasan global harus dilakukan demi generasi mendatang, yakni demi anak cucu kita. Potensi kerusakan yang begitu dahsyat akibat pemanasan global memerlukan strategi untuk mereduksi secara global pula. Mari kita bersama-sama memikirkan dan mencari solusinya.

Momentum untuk Pelestarian Lingkungan

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Istilah pemanasan global (global warming), mungkin masih asing bagi masyarakat yang jauh dari pusat informasi. Namun, mau tidak mau, masyarakat harus mengenal dan mengetahui tentang pemanasan global. Mengapa? Karena dampak yang ditimbulkan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Apabila para peneliti dan ilmuan mengungkapkan secara gamblang tentang pemanasan global, maka kita akan mengetahui begitu dahsyatnya efek pemanasan global dalam jangka panjang. Mungkin Indonesia akan kehilangan beberapa pulau atau bahkan Indonesia tenggelam.

Indonesia merupakan negara kepulauan. Dengan naiknya permukaan air laut karena dampak pemanasan global, maka satu per satu pulau-pulau di Indonesia akan tenggelam. Diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan tenggelam pada tahun 2030-2050 karena pemanasan global (Suara Pembaharuan, 17 Juni 2007).

Lebih dari dua per tiga kota-kota besar di dunia juga akan terkena dampak pemanasan global. Salah satunya adalah Jakarta yang berada di dekat laut. Jakarta adalah salah satu dari 180 kota di dunia yang 70% wilayahnya berada di kawasan pantai berelevasi rendah yang terancam oleh naiknya permukaan laut akibat pemanasan global. Apabila berkurangnya wilayah ini terjadi dan tidak diantisipasi dari sekarang, maka solusi untuk memecahkannya memerlukan biaya yang mahal karena harus menciptakan struktur bangunan pelindung pantai yang kokoh, juga biaya untuk merelokasi jutaan orang.

Global warming bukan lagi isu politik yang dimainkan dengan agenda politik tertentu, tetapi ancaman yang telah di dukung fakta empiris. Sebuah panel antarnegara yang bernaung di bawah PBB sejak awal 1990-an secara terus menerus melakukan penelitian yang membenarkan bahwa dunia tengah mengalami pemanasan yang membahayakan.

Penyebab global warming jelas, yaitu konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer oleh gas karbon (CO2) yang menyebabkan lapisan ozon menipis sehingga kemampuan menyerap panas berkurang. Karbondioksida berasal terutama dari gas buang industri maupun kendaraan bermotor yang menggunakan energy yang berasal dari fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Dan, Amerika Serikat yang tidak mau menandatangani Protokol Kyoto adalah penghasil terbesar emisi gas rumah kaca dengan 25%. Penyumbang lainnya adalah deforestasi, baik dalam bentuk kebakaran hutan maupun eksploitasi tanpa kendali.

Bila tidak dikendalikan dari sekarang, dalam abad ini suhu global akan bertambah antara 2 sampai 5 derajat celsius, dan bisa menyebabkan peningkatan tinggi permukaan laut akibat pencairan es di kutub dan sisanya berasal dari pemuaian air akibat peningkatan temperatur. Dampaknya akan sangat parah, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil di seluruh dunia.

Warga dunia telah menghukum pemimpin yang tidak menganggap global warming sebagai ancaman. Kekalahan Partai Republik di Amerika Serikat dalam pemilihan umum adalah contoh. Kemenangan Kevin Rudd yang mengusung isu pemanasan global dalam pemilu di Australia adalah contoh yang lain. Pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2008 juga akan menjadi ajang pembuktian lanjutan apakah Negara itu tetap akan menolak Protokol Kyoto.

Bali saat ini menjadi milik dunia. Tidak kurang dari 186 negara mengirimkan utusannya ke Pulau Dewata untuk sebuah konferensi di bawah paying PBB yang berlangsung sampai dengan 13 Desember 2007. Inilah konferensi dunia tentang permasalahan yang amat mengancam kehidupan manusia di muka bumi, yaitu pemanasan global.

Dengan membawa agenda yang menjadi kekhawatiran global ke Bali, Indonesia sebagai bangsa berpenduduk muslim terbesar di dunia sesungguhnya memperoleh kepercayaan dunia bahwa kita berada dalam alur piker dan komitmen yang sama tentang ancaman pemanasan global. Karena itu, bagi Indonesia, kalau pertemuan kali ini bias menghasilkan sebuah deklarasi yang akan menggantikan Protokol Kyoto yang berakhir 2012, adalah sukses sejarah yang harus dicantumkan dengan tinta emas.

Akan tetapi, deklarasi di Bali tersebut, kalau itu disepakati, akan menjadi ironi kalau deforestasi di Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun, kalau kelestarian lingkungan belum menjadi bagian dari peradaban berbangsa dan bernegara. Momentum itu harus dimanfaatkan untuk segera berbenah dalam pelestarian lingkungan. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbutan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum : 41).

Memperbesar Gerakan Politik Lingkungan

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)



Salah satu bidang, yang semakin menarik perhatian adalah politik lingkungan (environmental politics). Politik lingkungan biasanya berkaitan dengan politik penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam dan perdagangan produknya. Selain itu juga strategi dan kebiasaan pemerintah mengalokasikan sumberdaya alam bagi masyarakat ataukah berpihak pada swasta dan pasar.

Politik lingkungan juga berkaitan dengan peranan politik sekelompok orang dalam memperjuangkan keadilan dan kelestarian lingkungan. Salah satu ekspresi politik adalah dalam bentuk partai politik atau institusi yang dapat mempengaruhi keputusan politik pemerintah. Di dalam bahasa internasional biasa disebut dengan partai hujau (green party).

Membahas gerakan politik lingkungan di Indonesia memang cukup rumit. Apalagi di tengah-tengah kerasnya fragmentasi gerakan yang terjadi belakangan ini, dengan banyaknya varian aktivitas advokasi lingkungan yang dilandasi berbagai pilihan cara, sektor, isu, dan teritorial gerakannya.

Pada akhirnya gerakan politik lingkungan bila akan membesar menjadi sebuah gerakan yang meluas maka, gerakan itu sendiri harus mampu mengartikulasikan manfaat utama dari gerakan itu, yang menyentuh kebutuhan dasar gerakan rakyat dan dapat merubah situasi politik yang konteks dengan kebutuhan politik rakyat. Gerakan lingkungan yang besar dan membasis harus mempunyai ideologi dan keprihatinannya yang langsung. Manfaat utama dari gerakan politik lingkungan pada saat ini adalah kemampuannya membangun jaringan di dalam dan di luar batas-batas yang sesungguhnya tak kenal waktu dan mereka semua mampu mengklaim kesetiaannya pada sebuah ideologi yang mampu menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan lingkungan hidup.

Jihad Menyelamatkan Bumi

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbutan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum : 41)

Perubahan iklim tengah terjadi di bumi kita. Dampaknya kita lihat sendiri. Banjir dan longsor, kekeringan, angin topan, angin putting beliung, berbagai kecelakaan penerbangan dan pelayaran, wabah penyakit malaria, diare, demam berdarah, menurunnya kualitas air dan udara serta gagal panen. Perubahan iklim juga menyebabkan permukaan air laut naik. Sejak tahun 1961-2003, permukaan air laut rata-rata naik 1,8 mm/tahun. Diperkirakan dalam 30-40 tahun kedepan, lebih dari 300 pulau di Indonesia akan tenggelam.

Perubahan iklim terjadi karena efek gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. 90% disebabkan oleh aktivitas manusia (konsumsi minyak bumi dan batu bara dalam transportasi dan industri), tumpukan sampah dan kerusakan hutan.

Jadi, apa yang perlu kita lakukan? Pemerintah, dunia industri, dan masyarakat secara bersama-sama melakukan upaya penyelamatan lingkungan. Stop semua aktivitas yang mencemari udara, mencemari lingkungan dan gaya hidup yang boros energi. Gunakan listrik seperlunya, hemat bahan bakar, pelihara pohon dan jalani pola hidup sederhana. Perlu gerakan kolektif untuk menyelamatkan bumi agar terhindar dari bencana yang lebih dahsyat. Mari berjihad menyelamatkan bumi.


Selamatkan Hutan Indonesia

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen di muka bumi ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kesejahteraan masyarakat.

Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi disbanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha hutan membukanya di kawasan hutan. Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang yang dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap aktivitas industri-industri perkayuan yang bermasalah. Perlu juga adanya jeda tebang. Indonesia membutuhkan jeda tebang untuk melakukan perbaikan pada system kelola dan kebijakan yang saling tumpang tindih. Jeda tebang juga sekaligus memberikan kesempatan bagi hutan untuk bernafas sejenak dari aktivitas eksploitasi yang menciptakan berbagai dimensi bencana ekologis.

Selama jeda tebang di jalankan, industri-industri perkayuan tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang di impor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia, mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan, karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia. Kedaulatan rakyat, sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita butuh agama untuk terlibat dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Agama saat ini menjadi satu-satunya tumpuan harapan yang patut kita pertimbangkan dalam mengatasi krisis di dunia kehutanan, karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang semula diharapkan dapat mengangkat kedudukan alam dan manusia dalam posisi yang bermartabat, malah menjadi faktor utama dalam serangkaian krisis di dunia kehutanan. Jika pandangan hidup yang di dasarkan pada norma-norma agama ini diwarnai dengan pesan-pesan kearifan ekologis dari agama, bukan mustahil manusia akan berusaha menghargai alam sesuai ajaran agama yang di anutnya. Sehingga kewajiban melestarikan hutan, sama kuatnya dengan sejumlah kewajiban lainnya dalam agama. Pengabaian kewajiban ini sama berdosanya dengan pengabaian kewajiban lainnya di dalam agama.

Akhirnya, terhadap fenomena kerusakan hutan agama seharusnya tidak sekedar berhenti pada sekumpulan ibadah ritual, melainkan perlu member jawaban yang konkrit dan menyeluruh. Karenanya, penggalian terhadap pesan-pesan ekologis agama untuk kemudian dapat melahirkan karakter individu yang siap berkontribusi menyelamatkan hutan Indonesia, seperti misalnya melakukan advokasi lewat tulisan, menulis surat ataupun melakukan tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu, melakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat. Apabila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa izin maupun kegiatan pengrusakan hutan, laporkan langsung kepada instansi penegak hokum, LSM lingkungan, serta media massa.

Dan mulailah menanam pohon untuk bumi kita, untuk anak-cucu kita. Ingat pula pesan ekologis Rasulullah saw yang berbunyi: “Jika kiamat terjadi, sedangkan ditangan seseorang diantara kalian ada benih tanaman, maka selama ia mampu menanamnya sebelum berdiri maka lakukanlah.”

Realisasi Jeda Tebang Sebagai Solusi Krisis Ekologis

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Bahkan kebudayaan-kebudayaan yang dahulu kala mengubah hutan mereka menjadi apa saja yang tampaknya langsung lebih bermanfaat, sekarang masih merayakan hutan dalam tradisi-tradisi dan kisah-kisah yang diturunkan selama beribu-ribu tahun. Dari orang Athena Kuno sampai kerajaan Inggris, negara-negara bahari mengubah hutan menjadi perahu layar. Selama revolusi industri, negara-negara Eropa menggunakan hutan mereka – dan hutan koloni mereka – untuk umpan pertumbuhan perdagangan dan manufaktur mereka. Dalam gerakannya ke arah barat di abad 19, Amerika Serikat mengubah hutan menjadi ladang pertanian dan kota-kota serta jaringan kereta api, sama seperti halnya Brasilia sekarang sedang memberi umpan industri bajanya dengan arang kayu dari hutan hujan dan sama halnya Indonesia sekarang mengekspor kayu lapis untuk memberi bahan baker pertumbuhan ekonominya.

Bila dibiarkan, hutan yang rusak dapat tumbuh kembali selama serangan-serangan yang ditujukan kepadanya belum mengalahkan daya permudaan alam. Tetapi di berbagai bagian dunia, hutan sekarang praktis di jatuhi hukuman mati. Sekurang-kurangnya 15 juta hektar hutan tropis lenyap setiap tahunnya, menghilangkan spesies tumbuhan dan binatang serta menjadikan dunia tempat yang lebih miskin, baik secara hayati maupun secara budaya. Hutan dihancurkan oleh perusahaan kayu, dirusak oleh pencemaran, diubah menjadi perkebunan atau tanah pertanian, atau menjadi korban pengembangan kota dan daerah pinggir kota yang tidak beraturan.

Kondisi hutan Indonesia kini, berada pada titik yang paling kritis. Laju deforestasi dari tahun-ketahun tak mampu di atasi. Guinness World Records, atau Rekor Dunia Guinness, dalam buku rekornya pada edisi tahun 2008 akan memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di dunia. Laju deforestasi Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Data itu merupakan rata-rata catatan laju pengrusakan hutan di Tanah Air tahun 2000-2005. Sedangkan, pencantuman urutan rekor itu sendiri dihitung dari catatan 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan dunia.

Bahkan Walhi mencatat di tahun 2006 laju deforestasi mencapai 2,72 juta hektar. Dengan demikian patut jika Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang memiliki kecepatan deforestri tertinggi di dunia. Percepatan ini salah satunya didorong oleh tingginya angka konsumsi Eropa, India, dan China terhadap kayu, kertas dan sawit yang pada akhirnya mendorong industri kayu dan perkebunan semakin jauh menembus hutan alam dan batas-batas wilayah masyarakat.

Ekspansi besar-besaran ke kawasan hutan tidak hanya mempercepat laju deforestasi itu sendiri, namun juga menimbulkan berbagai dampak dalam dimensi yang berbeda. Setiap tahunnya, Walhi mencatat kerugian langsung dan tidak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor rata-rata sebesar 20,57 triliun setiap tahunnya atau setara dengan 2,94 persen APBN 2006. Kapasitas produksi juga mengalami peningkatan gila-gilaan hingga mencapai 96,19 juta meter kubik pada tahun 2006. Dengan pasokan kayu bulat yang hanya mampu memasok 46,77 juta meter kubik, total kayu yang ditebang secara illegal hanya untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta meter kubik. Menciptakan kerugian negara sebesar 36,22 trilyun pada tahun 2006 akibat tebangan illegal (illegal logging).

Kerusakan di sektor kehutanan telah membuat Indonesia berada pada siklus bencana ekologis yang semakin hari semakin parah. Banyaknya kepentingan yang terlibat dalam sektor ini kemudian membuat penyelesaian masalah tidak menyentuh akar masalah sebenarnya yang mencakup pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Greenpeace menyerukan agar pemerintah Indonesia menahan laju deforestasi dengan moratorium atau penghentian penebangan secara sementara. Selama moratorium tersebut, harus dilakukan pengkajian ulang dan pengubahan arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia.

Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan jeda tebang untuk melakukan perbaikan pada sistem kelola dan kebijakan yang saling tumpang tindih. Jeda tebang juga sekaligus memberikan kesempatan bagi hutan untuk mengambil nafas dari aktivitas penebangan yang menciptakan berbagai dimensi bencana ekologis.

Program jeda tebang yang di kampanyekan Greenpeace dan Walhi sangat baik sekali dan diharapkan hal tersebut benar-benar terealisasikan secara nyata di masa mendatang. Idealnya jeda tebang dilaksanakan paling sedikit selama 15 tahun. Masa lima belas tahun dianggap cukup bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menyusun protokol resolusi konflik, standar pelayanan ekologi bagi pengusahaan kehutanan dan perkebunan, dan mengadopsi sistem hutan kerakyatan sebagai bagian dari bentuk pengelolaan hutan alam di Indonesia.

Reformasi Konservasi Alam dan Peran Mahasiswa

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Pergerakan mahasiswa dan rakyat yang massif telah berhasil menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru yang menandai terciptanya sebuah era baru, Era Reformasi. Akan tetapi, reformasi yang awalnya disambut oleh ledakan antusiasme dan aspirasi rakyat untuk kehidupan yang lebih demokratis dan berkeadilan, kini mulai kehilangan ruhnya.

Reformasi dan transisi demokrasi telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde Baru. Elit-elit politik reformis gadungan, senyatanya semakin mengakumulasi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, dan pengisapan tenaga-tenaga rakyat. Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tidak terpulihkan.

Pandangan sekuler modern telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam, dan gangguan-gangguan tatanan alam. Bahkan saat ini masalah tersebut sudah bisa di katakana mengarah pada apa yang kita kenal sebagai krisis ekologis. Manusia modern menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.

Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia modern melalui sains dan teknologi, telah mendominasi dan mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya. Akibatnya, keberadan alam saat ini dalam proses kehilangan kemampuannya untuk memberikan sumber dayanya dan untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya.

Krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern' telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Eksploitasi hutan, industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi sekalipun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kehidupan. Pada gilirannya, berbagai bencana lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang harus diderita oleh rakyat dari tahun ke tahun.

Krisis ekologi mencerminkan terjadinya defisit nilai kedaulatan serta keadilan yang kemudian bertemu dalam defisit kesejahteraan. UU 23/1997 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sehingga, secara eksplisit, dapat dinyatakan bahwa tingkat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteran manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan ekologi serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial. Adapun ketahanan dan keberlanjutan ekologi mengacu kepada ketersediaan daya dukung tanah, air, udara, dan keanekaragaman kehidupan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan, ketahanan sosial mengacu kepada daya dukung kelembagaan sosial, baik pada aspek politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial ini.

Lantas, bagaimana dengan peran mahasiswa? Berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari aksi, seminar, lokakarya dan sosialisasi. Namun alih-alih memperbaiki alam, justru laju kerusakan alam kian hari kian mencemaskan, maka tidak heran jika Guinness World Records, atau Rekor Dunia Guinness, dalam buku rekornya pada edisi tahun 2008 akan memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di dunia. Laju deforestasi Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Data itu merupakan rata-rata catatan laju pengrusakan hutan di Tanah Air tahun 2000-2005. Sedangkan, pencantuman urutan rekor itu sendiri dihitung dari catatan 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan dunia.

Benar kata seorang kawan dari UGM, bahwa mahasiswa kini terjebak dengan pragmatisme ideologi. Idealisme luntur seiring berpindahnya jambul toga ke kanan. Seminar dan lokakarya tinggal tumpukan foto kopi makalah. Jika ditelaah kembali upaya yang telah dilakukan mahasiswa dalam konservasi alam, belumlah sebanding dengan laju kerusakan alam yang kian pesat. Perlu upaya yang lebih keras lagi. Usaha yang tak sekedar slogan, apalagi basa-basi seminar sehari.

Terkait reformasi konservasi alam, Rasulullah saw pun pernah bersabda: “Jika kiamat terjadi, sedangkan di tangan seseorang di antara kalian ada benih tanaman, maka selama ia mampu menanamnya sebelum berdiri maka lakukanlah.”

Blogger Templates by Blog Forum