Drama Perusakan Lingkungan Hidup

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Salah satu pokok soal lemahnya pengelolaan sumberdaya alam adalah bahwa sumberdaya alam selama ini dikelola oleh lembaga-lembaga yang lebih bertindak sebagai suatu perusahaan besar (big firm) daripada sebagai lembaga public (public body). Indikator yang disodorkan antara lain adalah lemahnya representasi dalam menentukan arah kebijakan yang dituju, ketertutupan, serta proses perumusan kebijakan seperti membuka dialog tanpa dapat menerima bagian penting yang diusulkan masyarakat. Akibatnya kebijakan yang ditelorkan oleh ‘perusahaan besar’ itu akhirnya menjadi asing ditengah-tengah perubahan masyarakat yang sangat cepat.

Kegalauan masyarakat tentang lemahnya wujud lembaga publik telah pula dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan ketiga (special interest group) yang justru dalam banyak hal menjadi penentu, kemana arah perubahan dicanangkan. Hasil berbagai pembahasan mengenai strategi pembaharuan (plan change strategy) dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dipastikan tidak ditindaklanjuti, jika tidak selaras dengan kelompok kepentingan ketiga ini.

Representasi kepentingan publik (public interest) terhadap lingkungan hidup telah diganti dengan representasi kepentingan individu (private interest). Kebijakan lingkungan hidup yang begitu luas dinafikan begitu saja dan diakhiri dengan perbincangan soal bentuk perusahaan, bentuk ijin, serta pembagian keuntungannya, juga bagi pemerintah pusat dan daerah.

Penegakan hukum yang terbukti sulit dijalankan juga harus menjadi catatan tersendiri. Lemahnya penegakan hukum antara lain menyebabkan lemahnya orientasi jangka panjang, baik bagi individu maupun publik. Bagaimana mungkin seseorang atau perusahaan menghentikan pencurian kayu agar hutan tidak rusak dan lingkungan aman, apabila setelah ia melakukannya ternyata tidak ada sanksi apapun atas perbuatannya. Bahkan meskipun namanya telah menjadi perbincangan publik. Maka yang dilakukan kemudian pastilah menambah skala pencuriannya itu, sebagai kebanggaan atas “kemenangan” yang ia peroleh.

Secara umum kondisi hutan di Indonesia memang sudah rusak berat. Pernyataan pejabat kehutanan di media massa pernah menyebutkan bahwa rata-rata hutan rusak per tahun sudah lebih dari 2,5 juta Ha. Saat inipun pencurian kayu bukan main hebatnya. Tidak kurang dari 30 juta m3 kayu yang diperjualbelikan berasal dari kayu curian. Bahkan kayu yang berasal dari hutan produksi yang dikelola oleh HPH, setiap tahun dapat diprediksi adanya produksi sekitar 12,8 juta m3 kayu bulat di luar produksi resmi. Modus lainnya adalah adanya berbagai bentuk ijin resmi dalam kawasan hutan produksi (yang tidak berhutan), dan ijin ini dipergunakan untuk menampun kayu bulat yang ditebang dari lokasi lain, baik dari hutan produksi, hutan lindung, maupun berbagai Taman Nasional. Tidak jarang pelaksanaan pencurian kayu ini juga dilakukan dengan mendatangkan tenaga kerja dari propinsi lain.

Berbagai nama para pelaku pencuri kayu dan pelaku korupsi dalam sektor ini telah banyak disebut oleh berbagai pihak, bahkan konon telah ada di tangan aparat. Tetapi apa yang telah terbuka dan diketahui masyarakat, sampai saat inipun nyatanya belum menjadi pemicu terjadinya perbaikan yang diharapkan.

Kerusakan fisik lingkungan hidup sebenarnya tidak mengkhawatirkan. Lingkungan hidup yang telah rusak “hanya” membutuhkan perlindungan, dan ia akan pulih kembali. Yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah telah lemahnya, dan di beberapa tempat telah rusaknya, social capital, tatanan kelembagaan masyarakat, maupun menurunnya kepercayaan masyarakat terhada lembaga-lembaga publik yang ada. Sehingga komitmen untuk melestarikan lingkungan hidup sangat sulit untuk dicapai.

Terus melajunya kerusakan lingkungan hidup, juga sebagai pertanda bahwa pemerintah pusat lemah peranannya. Penggunaan instrumen hukum dan pasal-pasal dari undang-undang untuk mengendalikan perusakan lingkungan hidup dengan instrumen kebijakan dari pusat, terasa sudah tidak efektif. Pendekatan seperti itu oleh beberapa orang di daerah bahkan dianggap tidak selaras dengan aspirasi otonomi daerah. Maka yang diperlukan pastilah bukan sekedar menggantikan kebijakan lama dengan kebijakan baru dengan pendekatan serupa. Melainkan dibutuhkan inovasi kelembagaan dengan proses yang dapat menunjang komitmen pemerintah dan masyarakat luas.

Kepedihan adanya korban bencana longsor maupun terjadinya banjir besar di beberapa daerah, belum menjadi “peringatan” yang mampu mewujukan kesadaran pentingnya kelembagaan yang dapat menjaga keberadaan hutan alam. Tahun inipun nampaknya juga belum disertai adanya tanda-tanda penguatan kelembagaan tersebut.

Haruskah ada peringatan yang lebih besar untuk menyadarkan pentingnya melestarikan lingkungan hidup?

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum