Refleksi Ekologi Indonesia

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Berbagai kajian dan penelitian membuktikan bahwa masa depan hutan Indonesia sangat bergantung pada perubahan-perubahan sikap mental, arah kebijakan dan strategi yang mendasar, baik di tingkat pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Perubahan-perubahan strategis telah dimulai sejak era reformasi antara lain tentang pentingnya kolaborasi pengelolaan kawasan-kawasan konservasi; arah pengelolaan yang lebih mempertimbangkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, yang tentu dengan penyesuaian dan mempertimbangkan dinamika dan konteks masing-masing daerah.

Perkembangan kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung mengakui bahwa pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat (mampu) dilakukan oleh pemerintah, maka muncul kebijakan kolaborasi tahun 2004, adalah suatu perkembangan dan dapat dijadikan fondasi penting untuk dilanjutkan. Perkembangan inisiatif kabupaten yang tertarik mendukung upaya konservasi harus direspon oleh pusat dengan kebijakan yang mendorong dan mengawal proses tersebut di tingkat nasional.

Beberapa kabupaten yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan lindung, perlu mendapatkan insentif. Bentuk insentif ini dapat beragam, misalnya alokasi dana untuk pengembangan masyarakat di daerah penyangga-yang berbatasan dengan kawasan konservasi, dan disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus. Kabupaten tersebut dapat diprioritaskan diikutkan dalam program Reduce Emission of Degradation and Deforestation (REDD); atau melalui mekanisme Debt for Nature Swapt., dikaitkan dengan perdagangan karbon, dan seterusnya. Bagi kabupaten yang mengalami kerusakan hutan yang parah, namun menunjukkan niat baik dan serius untuk melakukan rehabilitasi dapat didukung dengan dana Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dari Departemen Kehutanan.

Kawasan-kawasan konservasi khusus yang lokasinya di daerah dataran tinggi, harus dijadikan basis pembangunan yang berkelanjutan, melalui skema pengelolaan berbasis ekosistem daerah aliran sungai. Kerjasama dan keterpaduan di tingkat internal Departemen Kehutanan menjadi suatu keharusan, sebagai dasar untuk dikembangknnya kerjasama, keterpaduan, dan sinergi lintas departemen di tingkat pusat dan lintas dinas-dinas di provinsi dan kabupaten. Forum-forum Daerah Aliran Sungai yang telah dibentuk di sebagian provinsi perlu didorong untuk bekerja efektif memfasilitasi berbagai inisiatif lintas esktor ini. Dengan Ketua Forum seorang Emil Salim, Forum DAS di tingkat nasional ini diharapkan semakin berperanan aktif . Gerakan penanaman 100 Juta pohon misalnya, perlu dilanjutkan dengan berbagai pihak dengan meningkatkan kesadaran multisektor di seluruh Indonesia. Gerakan ini perlu dikawal untuk tidak terjebak pada jargon politik 5 tahunan, namun harus menjadi program nasional. Khususnya terkait dengan kawasan-kawasan eks HPH yang telah mengalami kerusakan dan saat ini menjadi kawasan yang terbuka bagi siapa saja. Situasi ini disebut sebagai open access: sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun tetapi juga milik setiap orang. Siapa kuat dia yang berkuasa. Maka kebijakan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik untuk produksi maupun konservasi harus terus dilanjutkan di masa mendatang.

Sedangkan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi, harus dilakukan di tingkat lapangan, dengan terus mengembangkan kerjasama multipihak, termasuk dengan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Sebagai aset lintas generasi, pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman-taman nasional seharusnya juga dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan dinamika politik, aspirasi daerah, keragaman hayati, teknologi, perkembangan pasar, jasa lingkungan, dan diperkaya oleh praktik-praktik kearifan lokal, dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut. Pengelolaan kawasan-kawasan konservsi yang tidak memberikan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya bagi masyakat sekitarnya akan mendapatkan berbagai tantangan dan tekanan. Potensi-potensi yang nyata dapat dikembangkan harus segera dikembangkan, misalnya di bidang jasa lingkungan-mikro hidro, ekowisata, tumbuhan obat. Untuk jangka panjang, perlu dikembangkan rekayasa genetik darin kekayaan flora danfauna Indonesia di kawasan konservasi. Kerjasama dengan lembaga-lembaga konservasi dan penelitian farmakologi menjadi relevan untuk terus didorong sampai diperoleh hak paten.

Refleksi Ekologi

Perubahan paradigmatik dan kebijakan konservasi yang telah dicanangkan sejak era reformasi 1998 perlu terus dikawal, dievaluasi, dan diperbaiki dengan dukungan kebijakan yang konsisten. Minimal terdapat 5 hal yang menjadi catatan kritis yang perlu kita renungkan:

Pertama, pembenahan struktural dan fungsional di tingkat internal baik di tingkat pusat maupun di daerah perlu terus dilakukan dalam kerangka peningkatan kapasitas, kapabilitas, integritas, dan reformasi birokrasi organisasi konservasi di Departemen Kehutanan.

Kedua, seiring dengan pembenahan internal, maka kerjsama, kolaborasi, maupun kemitraan harus terus dikembangkan. Baik di tingkat internal Departemen Kehutanan maupun dengan berbagai pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. Kelemahan selama ini adalah kurangnya skema kerjasama terutama dengan pihak swasta, untuk bersama-sama dikembangkan berbagai inisiatif bersama, seperti gerakan rehabilitasi dan upaya-upaya konservasi dan pengembangan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Kerjasama melalui skema bilateral, maupun dengan LSM internasional harus dilakukan melalui skema yang jelas dan dengan berpedoman pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit.

Ketiga, proses pembelajaran multipihak harus didisain dan dilaksanakan agar dapat diperoleh pembelajaran dari upaya yang berhasil maupun yang gagal. Pada umumnya, semua pihak termasuk pemerintah kurang mengawal proses pembelajaran ini, sehingga kita tidak dapat mengetahui secara valid khususnya kegagalan dari suatu kerjasama. Proses pemantau dan evaluasi kerjasama multipihak seharusnya dilakukan melalui prinsip-prinsip keterbukaan dan demokrasi. Spirit untuk melakukan proses pembelajaran ini menjadi sangat penting untuk terus dilakukan di masa mendatang. Ke depan, hutan produksi yang mengalami kerusakan seluas 20 juta Ha harus dapat direhabilitasi, melalui pengelolaan multipihak, sehingga proses pembelajarannya dapat dilakukan secara bersama.

Keempat, keterbukaan, kerjasama, dan komunikasi lintas sektor atau departemen adalah sangat mendesak. Konflik kepentingan lintas sektor dipicu oleh perbedaan di tingkat undang-undang dan peraturan turunannya, harus dapat difasilitasi di tingkat nasional, misalnya oleh Bappenas melalui skema penataan ruang di tingkat pulau atau provinsi. Contoh klasik dan nyata adalah antara pengelolaan potensi pertambangan di kawasan hutan; pengembangan wilayah kabupaten dan provinsi yang memerlukan konversi kawasan hutan untuk jaringan jalan, kota-kota baru, dan sebagainya.

Kelima, alat kebijakan nasional, misalnya tata ruang nasional, pulau, provinsi, dan kabupaten harus disusun melalui dukungan jastifikasi ilmiah/kajian akademik, dan konsultasi multipihak yang cukup. Kebijakan tata ruang harus memiliki kekuatan hukum agar dapat menjadi salah satu alat penyaring dari berbagai kepentingan daerah, atau kepenitngan nasional di daerah, sehingga dapat dicegah pengelolaan sumberdaya alam yang berpotensi merusak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum