Realisasi Jeda Tebang Sebagai Solusi Krisis Ekologis

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Bahkan kebudayaan-kebudayaan yang dahulu kala mengubah hutan mereka menjadi apa saja yang tampaknya langsung lebih bermanfaat, sekarang masih merayakan hutan dalam tradisi-tradisi dan kisah-kisah yang diturunkan selama beribu-ribu tahun. Dari orang Athena Kuno sampai kerajaan Inggris, negara-negara bahari mengubah hutan menjadi perahu layar. Selama revolusi industri, negara-negara Eropa menggunakan hutan mereka – dan hutan koloni mereka – untuk umpan pertumbuhan perdagangan dan manufaktur mereka. Dalam gerakannya ke arah barat di abad 19, Amerika Serikat mengubah hutan menjadi ladang pertanian dan kota-kota serta jaringan kereta api, sama seperti halnya Brasilia sekarang sedang memberi umpan industri bajanya dengan arang kayu dari hutan hujan dan sama halnya Indonesia sekarang mengekspor kayu lapis untuk memberi bahan baker pertumbuhan ekonominya.

Bila dibiarkan, hutan yang rusak dapat tumbuh kembali selama serangan-serangan yang ditujukan kepadanya belum mengalahkan daya permudaan alam. Tetapi di berbagai bagian dunia, hutan sekarang praktis di jatuhi hukuman mati. Sekurang-kurangnya 15 juta hektar hutan tropis lenyap setiap tahunnya, menghilangkan spesies tumbuhan dan binatang serta menjadikan dunia tempat yang lebih miskin, baik secara hayati maupun secara budaya. Hutan dihancurkan oleh perusahaan kayu, dirusak oleh pencemaran, diubah menjadi perkebunan atau tanah pertanian, atau menjadi korban pengembangan kota dan daerah pinggir kota yang tidak beraturan.

Kondisi hutan Indonesia kini, berada pada titik yang paling kritis. Laju deforestasi dari tahun-ketahun tak mampu di atasi. Guinness World Records, atau Rekor Dunia Guinness, dalam buku rekornya pada edisi tahun 2008 akan memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di dunia. Laju deforestasi Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Data itu merupakan rata-rata catatan laju pengrusakan hutan di Tanah Air tahun 2000-2005. Sedangkan, pencantuman urutan rekor itu sendiri dihitung dari catatan 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan dunia.

Bahkan Walhi mencatat di tahun 2006 laju deforestasi mencapai 2,72 juta hektar. Dengan demikian patut jika Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang memiliki kecepatan deforestri tertinggi di dunia. Percepatan ini salah satunya didorong oleh tingginya angka konsumsi Eropa, India, dan China terhadap kayu, kertas dan sawit yang pada akhirnya mendorong industri kayu dan perkebunan semakin jauh menembus hutan alam dan batas-batas wilayah masyarakat.

Ekspansi besar-besaran ke kawasan hutan tidak hanya mempercepat laju deforestasi itu sendiri, namun juga menimbulkan berbagai dampak dalam dimensi yang berbeda. Setiap tahunnya, Walhi mencatat kerugian langsung dan tidak langsung yang ditimbulkan dari banjir dan longsor rata-rata sebesar 20,57 triliun setiap tahunnya atau setara dengan 2,94 persen APBN 2006. Kapasitas produksi juga mengalami peningkatan gila-gilaan hingga mencapai 96,19 juta meter kubik pada tahun 2006. Dengan pasokan kayu bulat yang hanya mampu memasok 46,77 juta meter kubik, total kayu yang ditebang secara illegal hanya untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta meter kubik. Menciptakan kerugian negara sebesar 36,22 trilyun pada tahun 2006 akibat tebangan illegal (illegal logging).

Kerusakan di sektor kehutanan telah membuat Indonesia berada pada siklus bencana ekologis yang semakin hari semakin parah. Banyaknya kepentingan yang terlibat dalam sektor ini kemudian membuat penyelesaian masalah tidak menyentuh akar masalah sebenarnya yang mencakup pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Greenpeace menyerukan agar pemerintah Indonesia menahan laju deforestasi dengan moratorium atau penghentian penebangan secara sementara. Selama moratorium tersebut, harus dilakukan pengkajian ulang dan pengubahan arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia.

Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan jeda tebang untuk melakukan perbaikan pada sistem kelola dan kebijakan yang saling tumpang tindih. Jeda tebang juga sekaligus memberikan kesempatan bagi hutan untuk mengambil nafas dari aktivitas penebangan yang menciptakan berbagai dimensi bencana ekologis.

Program jeda tebang yang di kampanyekan Greenpeace dan Walhi sangat baik sekali dan diharapkan hal tersebut benar-benar terealisasikan secara nyata di masa mendatang. Idealnya jeda tebang dilaksanakan paling sedikit selama 15 tahun. Masa lima belas tahun dianggap cukup bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menyusun protokol resolusi konflik, standar pelayanan ekologi bagi pengusahaan kehutanan dan perkebunan, dan mengadopsi sistem hutan kerakyatan sebagai bagian dari bentuk pengelolaan hutan alam di Indonesia.

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum