Reformasi Konservasi Alam dan Peran Mahasiswa

Muhammad Luthfie

Direktur Eksekutif Relawan Ekologi Nusantara (RENA)


Pergerakan mahasiswa dan rakyat yang massif telah berhasil menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru yang menandai terciptanya sebuah era baru, Era Reformasi. Akan tetapi, reformasi yang awalnya disambut oleh ledakan antusiasme dan aspirasi rakyat untuk kehidupan yang lebih demokratis dan berkeadilan, kini mulai kehilangan ruhnya.

Reformasi dan transisi demokrasi telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik rezim Orde Baru. Elit-elit politik reformis gadungan, senyatanya semakin mengakumulasi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, dan pengisapan tenaga-tenaga rakyat. Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tidak terpulihkan.

Pandangan sekuler modern telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam, dan gangguan-gangguan tatanan alam. Bahkan saat ini masalah tersebut sudah bisa di katakana mengarah pada apa yang kita kenal sebagai krisis ekologis. Manusia modern menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.

Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia modern melalui sains dan teknologi, telah mendominasi dan mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya. Akibatnya, keberadan alam saat ini dalam proses kehilangan kemampuannya untuk memberikan sumber dayanya dan untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya.

Krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern' telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Eksploitasi hutan, industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi sekalipun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kehidupan. Pada gilirannya, berbagai bencana lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang harus diderita oleh rakyat dari tahun ke tahun.

Krisis ekologi mencerminkan terjadinya defisit nilai kedaulatan serta keadilan yang kemudian bertemu dalam defisit kesejahteraan. UU 23/1997 mendefinisikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sehingga, secara eksplisit, dapat dinyatakan bahwa tingkat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteran manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai hilangnya potensi ketahanan dan keberlanjutan ekologi serta potensi ketahanan dan keberlanjutan sosial. Adapun ketahanan dan keberlanjutan ekologi mengacu kepada ketersediaan daya dukung tanah, air, udara, dan keanekaragaman kehidupan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan, ketahanan sosial mengacu kepada daya dukung kelembagaan sosial, baik pada aspek politik, ekonomi, dan budaya. Sehingga reformasi pengelolaan lingkungan hidup harus mengacu kepada upaya penguatan ketahanan dan keberlanjutan ekologi dan sosial ini.

Lantas, bagaimana dengan peran mahasiswa? Berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari aksi, seminar, lokakarya dan sosialisasi. Namun alih-alih memperbaiki alam, justru laju kerusakan alam kian hari kian mencemaskan, maka tidak heran jika Guinness World Records, atau Rekor Dunia Guinness, dalam buku rekornya pada edisi tahun 2008 akan memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di dunia. Laju deforestasi Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Data itu merupakan rata-rata catatan laju pengrusakan hutan di Tanah Air tahun 2000-2005. Sedangkan, pencantuman urutan rekor itu sendiri dihitung dari catatan 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan dunia.

Benar kata seorang kawan dari UGM, bahwa mahasiswa kini terjebak dengan pragmatisme ideologi. Idealisme luntur seiring berpindahnya jambul toga ke kanan. Seminar dan lokakarya tinggal tumpukan foto kopi makalah. Jika ditelaah kembali upaya yang telah dilakukan mahasiswa dalam konservasi alam, belumlah sebanding dengan laju kerusakan alam yang kian pesat. Perlu upaya yang lebih keras lagi. Usaha yang tak sekedar slogan, apalagi basa-basi seminar sehari.

Terkait reformasi konservasi alam, Rasulullah saw pun pernah bersabda: “Jika kiamat terjadi, sedangkan di tangan seseorang di antara kalian ada benih tanaman, maka selama ia mampu menanamnya sebelum berdiri maka lakukanlah.”

0 komentar:

Blogger Templates by Blog Forum