Muhammad Luthfie
Sebenarnya, permasalahan di dunia kehutanan terletak pada sebuah kata, yaitu politik. Rimbawan yang ribuan jumlahnya itu sebagian besar hanya ahli dalam hal teknis di bidangnya. Sedikit yang mau berkecimpung dalam dunia politik, padahal politik bisa dipakai untuk menyelamatkan hutan. Sekarang kita menyalahkan peraturan atau perundang-undangan yang telah di buat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ya kita hanya bisa mengeluh, gondok, dan lain sebagainya melihat kejahatan deforestasi yang dilegalkan.
Seharusnya, sebagai stakeholder kehutanan, kita mesti melek politik. Bayangkan, jika yang menjadi anggota DPR itu adalah adalah mafia-mafia dan buron-buron kehutanan, yang jadi menteri kehutanannya bekas cukong kayu illegal. Bayangkan jika rimbawan hanya asik bekerja dan terima gaji dari para penghancur hutan yang berkedok Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kuliah sampai sarjana bahkan doktor hanya untuk jadi antek-antek penjahat ekologi. Cukup menjijikan.
Jarang kita melihat birokrat kehutanan yang jujur dan serius menyelamatkan hutan Indonesia yang semakin menyusut ini. Mereka malah sering seminar, lokakarya, diskusi, dan konferensi dengan sponsor pabrik-pabrik kayu atau kertas, setelah itu pulang dan tidur di atas tempat tidur mahal dari kayu jati. Mereka selalu berteriak lebih langtang dari pendemonya, mengingkari fakta-fakta kerusakan hutan yang dibeberkan kader-kader konservasi sejati. Dengan percaya diri mereka mengatakan bahwa tindakannya dibenarkan Undang-Undang (UU) Luar biasa sebuah UU, untaian kalimat dalam UU sangat efektif untuk menghancurkan sebagian besar hutan kita. Ditambah mereka-mereka para penjajah hutan yang buta UU juga buta etika. Merekalah penjahat konservasi sejati.
Solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan di dunia kehutanan adalah: “Rimbawan harus melek politik.” Rimbawan tak perlu tabu lagi dengan yang namanya Partai, Paelemen, Undang-Undang (UU), dan lain sebagainya. Ingatkah kita nama-nama Menteri Kehutanan seperti Nur Mahmudi Ismail dan M.S. Kaban? Apakah mereka seorang rimbawan teknis? Yang hanya bisa kerja dilapangan, menjadi karyawan HPH, dan nurut apa kata cukong, serta bermanja-manja ketika hendak menerima gaji. Bukan. Sekali lagi bukan. Mereka adalah orang-orang politik pada dasarnya. Karena kesepakatan-kesepakatan politik mereka bisa menjadi Menteri Kehutanan.
Ketika rimbawan sudah melek politik, anda jangan kaget melihat hutan-hutan kita kembali seperti dulu. Walau bukan kita yang menikmati, namun yakinlah anak cucu kita akan mendoakan kita. Kita akan tersenyum di surga-Nya ‘insya Allah’ menyaksikan Indonesia kembali menjadi untaian Zambrud Khatulistiwa.
Ada satu lagi yang tak boleh terlewatkan, rimbawan harus mematuhi kode etik rimbawan. Khususnya pada poin pertama yang berbunyi: “Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Karena, menyelamatkan dan melestarikan hutan merupakan bentuk ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, selain melek politik, rimbawan juga mesti melek spiritual.
0 komentar:
Refleksi Ekologi
-
▼
2009
(12)
-
▼
Juli
(12)
- Drama Perusakan Lingkungan Hidup
- Refleksi Ekologi Indonesia
- Kerusakan Ekologi; Pesan Bagi Calon Wakil Rakyat
- Politik dan Spiritual Rimbawan
- Strategi Mereduksi Efek Global Warming
- Efek Global Warming
- Momentum untuk Pelestarian Lingkungan
- Memperbesar Gerakan Politik Lingkungan
- Jihad Menyelamatkan Bumi
- Selamatkan Hutan Indonesia
- Realisasi Jeda Tebang Sebagai Solusi Krisis Ekologis
- Reformasi Konservasi Alam dan Peran Mahasiswa
-
▼
Juli
(12)